Thursday, August 18, 2016

Berawal Dari Backstreet (Bagian 2)

Berawal Dari Backstreet (Bagian 2)

Sudah dua pekan semenjak hari itu Dimas tak pernah menghubunginya lagi. Sebenarnya sudah sering Rara mengirim pesan maupun menelpon kepada Dimas, namun pemuda itu tak merespon walau sekali dan bila bertemu pun Dimas selalu memberi kesan jika mereka tak dan tak pernah saling kenal.
Rara menjadi bingung atas hubungan mereka yang awalnya backstreet malah jadi makin gak jelas.
“Kalau Dimas mutusin harusnya dia bilang putus bukan cuma maaf.” Runtuknya menenggelamkan wajah ke dalam bantal.
“Dim, kalau kamu mau putus bilang, biar aku gak bimbang gini,” tulisnya di WA. Belum sempat pesan itu terkirim Dimas mengirim mendahului.
“Aku nunggu sekarang di perempatan.”
Rara mengernyit, segera pesan itu dia hapus kembali dan bersiap.
“Tapi kan udah malem,” ujarnya.
“Masa bodo,” lanjutnya mengingat di rumah hanya ada dia sendiri lantaran mamah dan papahnya harus ke bogor untuk menjenguk nenek.
Dengan menggunakan jeans yang dipadu kemeja cokelat motif kotak-kotak Rara pergi menemui Dimas. Rambutnya digerai dengan ujung dan ujung dirangkul jepit kecil pemberian Dimas.
Tak dipungkiri Dimas semakin terpesona dengan penampilan Rara yang simpel namun tetap rapi.
Baru saja datang tanpa berkata Dimas menyerahkan helm memberi kode agar Rara menaiki motornya.
“Mau ke mana?” tanya Rara saat motor yang mereka tumpangi melaju sebentar.
“Bebas,” jawab Dimas acuh.
Walau begitu Rara merasa tenang dan percaya kalau Dimas pasti akan menjaganya dengan baik.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu ngejauh?”
Dimas sedikit terusik dengan pertanyaan Rara. “Bisa gak nanyanya nanti aja?”
Walau sikapnya terkadang acuh, entah mengapa Rara tetap bisa mencintai Dimas. Diapun yakin akan merasa berat jika suatu saat Dimas harus pergi dari sisinya.
Badut, balon, juga kincir dan komedi putar membuat Rara yakin jika Dimas mengajaknya ke pasar malam.
“Ayo,” Dimas menarik tangan Rara menuntunnya ke tempat yang dipenuhi balon.
“Happy anniv five month Rara, I love you,” ucap Dimas memberi sebuah balon berwarna merah berbentuk hati bertuliskan ‘I always hope you happy’.
“Kamu inget?” tanya Rara.
Dimas terkekeh menepuk kepalanya. “Dasar, ya jelas lah.”
“Aku aja lupa,” ucap Rara tersenyum bahagia menarik Dimas menaiki kincir angin.
“Jangan ini deh Ra,”
“Kenapa?”
Rara sebenarnya tidak tahu jika Dimas memiliki trauma yang dialaminya semasa kecil. Dia pernah menaiki kincir angin dan hampir saja terjatuh lantaran kenakalannya semasa kecil. Kejadian itu harus merenggut nyawa kakaknya tercinta. Namun karena tidak ingin membuat Rara kecewa Dimas memaksakan diri untuk menaikinya.
“Kamu kenapa?” tanya Rara melihat Dimas menggigil memejamkan mata.
Keringat mengucur dari kening dan pelipisnya.
“Dim? Dim,” gadis itu panik menggenggam tangannya yang sebelah karena sebelah tangan Dimas mencengkram kepalanya yang terasa ngilu.
“Dim? Kamu kenapa Dim?”
Rara memberikan segelas kopi hangat yang ia beli. Walau sebenarnya dia tidak yakin Dimas menyukai kopi atau tidak.
“Jadi kamu kenapa tadi?” ucapnya menatap dengan harapan mendapatkan jawaban.
Dimas hanya tersenyum, “Kepo,”
“Ih, ya harus kepo lah. Kamu tahu gak, tadi itu tuh aku khawatir banget.”
“Udah, pulang yuk! Nanti ada yang liat kita di sini.”
Rara cemberut memanyunkan bibir. “Gue pikir dibawa ke sini karena dia udah mau terbuka sama hubungan kita,” ucapnya membatin.
“Nih,” Rara menyerahkan helm masih cemberut.
“Kenapa lagi sih? Gak seneng aku ajak ke pameran?”
“Kamu kenapa sih kok gak ada orang yang boleh tahu hubungan kita?”
Dimas tersenyum, “Pengen aja.”
“Waktu itu kamu bilang gak boleh sama orangtua. Sekarang pengen aja. Kamu bohong yah? Kamu takut fans kamu tahu kalau aku ini pacar kamu? Kamu malu pacaran sama aku? Bahkan kita gak pernah foto bareng di moment yang kita lalui. Kamu sebenernya serius gak sih, sama aku?” tanya Rara sedikit ragu akan dilontarkannya pertanyaan terakhir mengingat dia masih takut Dimas menjawab iya.
“Udah ngomelnya nona?”
“Ish! Nyebelin,”
“Udah masuk sana! Aku mau pulang. Yang bisa jawab pertanyaan kamu itu ya diri kamu sendiri.” Dimas menyalakan motor dan berlalu meninggalkan Rara dengan seribu tanya.
        Rara berjalan sendiri menyusuri koridor sekolah yang sangat amat sepi. Maklum saja, kegiatan belajar mengajar tengah dilaksanakan. Hanya Rara yang ‘katanya’ ijin buat ke toilet tapi malah keluyuran gak jelas.
“Psst, hei!” seseorang menyerunya entah dari mana.
Rara berbalik menengok ke segala arah. Di sana, di sudut yang agak menjorok ke dalam Rara melihat Dimas. Rara menghampirinya entah hendak apa.
“Apa sih?”
“Ngapain keluyuran? Bukannya belajar sono!”
“Gak keluyuran kok.”
“Itu, ke luar kelas terus jalan-jalan emangnya kamu mau ngapain?”
“A-aku mau ke toilet,”
Dimas menatapnya tak yakin. “Toilet cewek di sebelah sana, ngapai kamu ke sini? Udah ke kelas sono!”
“Lah kamu sendiri ngapain di sini?”
“Udah, gak usah banyak tanya. Sono buruan ke kelas,” Dimas mendorong Rara untuk segera berjalan ke arah kelasnya.
“Ish, udah, aku bisa sendiri.” Decaknya kesal lalu pergi meninggalkan Dimas.
“Dasar aneh,” Rara tak berhenti menggerutu.
“Eh, kalau gue ke kelas sekarang, nanti gue gak bisa keluar lagi dong.” Dengan pandangan jahil dia melirik tangga yang akan mengantarnya ke lantai tiga, lantai di mana perpustakaan berada.
“Daripada boring sama sejarah, mending tidur di perpustakaan.” Serunya segera bergegas naik.
“Rara!”
“Eh siapa?” Rara celingukan mencari orang yang memanggilnya.
“Oh Kak Doni,”
“Mau ke perpustakaan yah?”
Rara hanya mengangguk saja.
“Bareng yuk! Aku juga mau cari buku nih,”
Rara mengangguk lagi lalu berjalan mendahului. Entah mengapa sekarang ini rasa suka Rara kepada Doni mengabur. Mungkin karena dia yakin kalau Dimas sangat mencintainya dan dia juga mencintai Dimas.
“Kakak gak belajar?” tanya Rara sekedar basa basi.
“Belajar sih, tapi males ah. Guru sama pelajarannya bikin boring.”
“Oooh,” respon Rara dengan nada panjang.
“Kamu sendiri?’
“Ya kurang lebih gitu deh,”
“Oh samaan yah,”
Perpustakaan amatlah sepi, bukan saja karena jam masih dalam waktu belajar. Karena memang jika sudah istirahat pun orang-orang akan lebih suka pergi ke kantin daripada perpustakaan.
“Loh, kok malah duduk?” tanya Doni melihat Rara menghampiri sofa panjang yang disediakan dengan tujuan agar pengunjung perpustakaan banyak. Walaupun itu tidak berpengaruh karena jikalaupun ada yang tertarik dengan sofa itu hanya sekedar duduk-duduk atau kalau mengambil bukupun formalitas saja.
“Kan emang aku gak bakal baca. Cuman boring aja di kelas.”
Doni tersenyum menggeleng, tapi berikutnya dia juga malah ikut duduk di samping Rara.
Ada debaran yang tidak biasa saat Doni mendekat di sampingnya. Rarapun menggeser posisi duduknya sedikit.
“Ra,” Doni menatap wajahnya membuat Rara merasa tidak nyaman.
“Aku,”
“Kak Doni, Rara udah punya pacar. Walau emang kita backstreet. Jadi maaf Rara gak bisa,” ucapannya terhenti melihat pandangan aneh yang diberikan Doni.
“Jadi kalau kamu udah punya pacar, kamu gak bisa batuin aku buat deketin Yani?”
Sontak wajah Rara yang putih memerah seperti kepiting rebus. Doni kemudian tertawa keras-keras.
“Ra... Ra, kita emang deket. Tapi aku anggap kamu itu adik, gak lebih.”
“Hehehe,” ada rasa lega diantara rasa malu di dalam hati Rara.
“Jadi, kamu bisa kan deketin aku sama Yani,”
Tersenyum Rara mendengar kata itu lalu menjelaskan kalau sebenarnya Yani juga memiliki perasaan yang sama dengan Doni.
“Nah tadi sih aku anggepnya kakak mau bilang cinta sama aku soalnya kakak kan jarang-jarang deket cewek, dan yang paling deket sama kakak itu ya aku.”
“Jadi gimana?” tanya Doni.
“Apanya?”
“Cara aku biar bisa jadian sama Yani.”
“Em... gimana yah, oh gini aja,”
Dengan saksama Doni mendengarkan kata per kata dari Rara.
“Ide bagus,”
“Tapi Kak Doni harus kasih Rara upah,”
“Apa?”
“Rara mau es krim, cokelat, jelly, emh puding, sama bakso malang di kantin sekolah. Dan semua itu harus dikasih abis kakak jadian sama Yani,”
“Waduh bobol nih dompet,”
“Iya gak? Kalau engga juga gak papa sih,”
“Iya deh iya. Ya udah, ke kelas sono. Udah istirahat juga.”
“Ok deh, jangan lupa yah traktirannya,”
Di kelas.
“Yani,” Rara tersenyum memeluk leher sahabatnya itu sambil mendaratkan pantat pada kursi kayu yang lagi dan lagi harus terpaksa menerima beban tubuh Rara.
“Apa sih? Bau tauk,” ucapnya menutup hidung tapi tidak menyingkirkan tangan Rara.
“Masa sih?” Rara menciumi ketiak dan seluruh sudut tubuhnya yang tergapai hidung minimalisnya.
“Eh bercanda yah loe?”
“Eh Yan, ikut yuk?”
Yani melirik Rara lalu berpaling lagi. “Ke mana?”
“Ayo aja,” Rara menarik tangan Yani yang mau tidak mau harus mengikutinya.
Lapangan, sesuai rencana sudah ada bola basket tersusun rapi membentuk tiga elemen “I Love You”.
“Bagus yah,” cetus Yani namun tak menampakkan ekspresi antusiasnya.
“Yan, bisa ke tengah bentar gak?”
“Ngapain?”
“Ambilin bolanya dong, satu aja.”
Yani menatap Rara geram. “Ogah ah, itu orang susun susah-susah.”
“Yan, ayolah,”
Yani berpikir dua kali untuk tidak mengambilkan bola itu untuk Rara. Pasalnya Rara pasti terus merengek sampai kemanapun mereka pergi. Lagipula kalaupun ada orang yang marah karena bola itu ia ambil, ia tinggal berkata maaf.
Yani memang sudah memantapkan langkah untuk maju ke tengah lapangan. Tapi, dia sedikit risi beberapa wanita menatapnya sambil berbisik-bisik bahkan beberapa pria menatapnya aneh.
“Aduh Ra, itu Yaninya suruh mundur dulu deh!”
“Kak Doni ngapain di sini? Harusnya kan kakak ada di deket-deket sana!”
“Iya, tadinya juga mau gitu tapi anak basket lagi adain acara ulang tahun mereka,”
“Lah terus itu, kenapa tulisannya I love you?”
Doni hendak menjelaskan, tapi Andika, orang yang membawa sisa bola basket juga tepung untuk kata berikutnya sudah terlanjur datang.
“Don, bantuin susun tulisan ini yuk, tinggal tulisan basketnya.”
“Lah?” Rara malah makin heran.
“Loe tunggu di sini!”
Tanpa aba-aba Doni berjalan ke tengah lapang. Yani yang sudah mengambil satu bola hendak kembali menghampiri Rara.
“Eh kak, anu ini,” penjelasannya terhenti ketika Doni menggenggam tangannya.
“I love you Yani. Will you be my girl friend?”
“Hah, apa?”
“Eh maaf, aku gak salah denger? Oh ah kakak serius?” Yani berucap gugup.
“Engga Yan, aku serius,”
“Aku juga sebenernya punya rasa yang sama,”
“Jadi?”
Tanpa kata Yani mengangguk pertanda iya.
Lagi-lagi Rara harus berkejaran dengan waktu. Baru saja beberapa hari dia tepat waktu Rara harus bangun kesiangan lagi gara-gara terlalu asik bergadang.
“Pak pak pak stop stop pak!”
“Kesiangan terus! Mau jadi apa kamu?” hardik satpam penjaga gerbang tak Rara hiraukan.
Di sela kepanikannya itu Rara masih saja sempat melirik Dimas yang berjalan berlawanan dengannya.
“Dimas mau ke mana yah?” bisiknya namun segera berlalu karena terkejar waktu.
Seperti maling Rara memasuki kelas. Dia berjalan kepiting demi menghindari lirikan Pak Gilang yang tengah menulis di papan.
“Yang telat silahkan, gak usah masuk kelas,”
Rara yang baru saja berhasil mendaratkan pantatnya di kursi sontak berdiri lagi berujar, “Maaf pak, tapi kata nenek saya gak ada kata terlambat untuk belajar.”
Pak Gilang berbalik menatapnya. “Ini bukan sekolah nenek kamu. Jadi buruan keluar!”
“Fuhh!!!” ke mana lagi tempat pelarian Rara kalau bukan ke perpustakaan.
“Oh iya, tadi Dimas ke mana yah?”
“Ah telpon aja deh,”
Hanya nada sambung.
“Mungkin Dimas udah ke kelas lagi,” pikirnya mencoba mensugesti pikiran untuk tetap berpikir positif.
Sementara di lain tempat, Dimas terpaku pada sebuah handphone yang baru saja berbunyi.
“Dim,” ibunya yang berurai air mata memegang pundak menguatkan.
“Kita harus pergi,” tekad Dimas.
“Ibu gak mau masalah ini bikin kamu susah. Kita masih bisa tinggal di sini,”
“Kita harus menjauhi semua kenangan tentang ayah bu, kita pergi!”
Hampir lima belas menit Rara tertidur dengan posisi duduk. Di sela tidurnya itu Dimas masih sempat mampir sekedar mengucapkan selamat tinggal.
“Dim!” pekik Rara terperanjat lalu diam lagi setelah sadar beberapa orang menembak pandangan kearahnya.


Let's read the next : Berawal Dari Backstreet (Bagian 1)

Friday, August 12, 2016

Berawal Dari Backstreet (Bagian 1)

Berawal Dari Backstreet  (Bagian 1)


 Bel masuk sudah berbunyi lebih dari lima menit yang lalu dan Rara, masih berjarak sepuluh langkah dari gerbang. Sial! Desisnya melihat gerbang yang sedikit demi sedikit tertutup dengan bunyi berderit bukan karena orang yang ada di balik gerbang itu tidak kuat mendorong melainkan rel gerbang yang sudah berkarat.
“PAK, STOP!!!” teriak Rara spontan menghentikan gerakan satpam sekolah yang meruntuk kesal pada anak-anak yang suka telat seperti Rara karena dianggapnya menghambat tugas agung menutup pintu gerbang.
Sebelumnya perkenalkan, Amira Larasati, gadis yang akrab disapa Rara. Wajahnya manis membuat orang tak bosan memandang. Tubuhnya tinggi berisi dan kecerdasan yang luar biasa namun tak bisa membawanya meraih ranking pertama di kelas.
“Tak apa mah, ranking satu bukan jaminan Rara sukses nanti kok,” ucapnya mengobati hati sang mamah yang selalu mengoceh saat mengambil laporan hasil belajar Rara. Coba Rara lebih rajinlah, lebih aktif lah, tidak kebanyakan main gamelah, kata-kata yang dianggapnya angin lalu lantaran sudah terbiasa.
Rara merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Masrul, tengah mengenyam pendidikan di Negeri Paman Sam lantaran kejeniusannya di bidang musik. Adiknya, Keyla, memilih untuk melanjutkan sekolah di pesantren selepas lulus sekolah dasar.
Terkadang Rara merasa hanya dialah yang belum memiliki sesuatu untuk dibanggakan sang bunda. Habis mau bagaimana lagi, bukan keinginan dia kok, bisiknya mengobati diri sendiri.
Secepat mungkin Rara memburu kelas. Hal yang sudah biasa dilihat beberapa anak kelas yang dilaluinya. Susah payah Rara mengatur nafas. “Syukur,” bisiknya. Guru kimia yang terkenal galak di seantero sekolah itu belum tampak walau hanya kacamatanya.
“Bruk, bugh,” Rara membanting diri di kursi tempat yang mau tidak mau harus membuat Rara betah duduk berlama-lama walau kadang pantatnya terasa pegal lantaran keadaan kursi yang tak berbusa juga pengaruh terlalu lama belajar.
“Telat lagi?” tanya Yani kawan seperjuangan sejak kelas satu yang terdengar seperti pernyataan di telinga Rara.
Meski sama-sama cerdas, Yani begitu giat dan rajin sehingga dia mampu menyandang gelar sebagai juara bertahan lantaran selalu mendapat juara pertama sejak kelas satu. Yah lebih unggul empat angka lah dari Rara.
“Semalaman berburu pokemon, dapet lima ekor,” ucapnya tersenyum puas walau masih terasa pegal di beberapa bagian tubuhnya.
Yani tak merespon. Dia konsen pada setumpuk bacaan di hadapannya. Di banding Rara Yani berperagai lebih tenang, hemat kata dan dingin. Itu membuatnya terkadang sulit beradaptasi dengan lingkungan termpatnya berada. Lain dengan Rara, yang jikalaupun ditaruh di ruangan yang tidak ada satu orangpun mengenalnya, dalam sekejap bisa menjadi sahabat karibnya.
Guru yang sempat membuat Rara was-was lantaran keterlambatannya itu masuk juga. Tanpa salam, tanpa senyum, dan tanpa ucapan maaf karena sudah terlambat.
“Gue berani bertaruh itu guru pas pembagian keramahan dia pasti absen,” bisik Rara memperhatikan dari ujung kaki sampai puncak kerudung.
Yani hanya tersenyum menggeleng, sahabatnya itu memang selalu ada-ada saja.
“Untung aja dia juga telat, kalau engga, bisa abis gue jadi ikan asin karena dijemur seharian.”
“Tugas kimia yang kemarin, kumpulkan!” perintah Bu Sri—sapaan akrab guru killer itu—membuat suasana yang tadinya hening menjadi sedikit berisik.
“Eh gue belum satu lagi,”
“Gak papa, kumpulin aja, daripada dihukum.”
“Kemarin gue ngerjain susah payah loh,”
“Makasih yah udah ngajarin,”
“Ya ampun, demi pokemon gue yang tadi malam, GUE BELUM!” teriak Rara mengundang perhatian beberapa pasang mata. Beberapa orang yang berjalan ke depan untuk mengumpulkanpun jadi terhenti sejenak.
“Krikk, krikk,” entah suara ringtone siapa. Yang pasti tak ada tawa, tak ada canda, yang ada hanyalah tatapan simpati dari semua kawannya kepada Rara.
Bu Sri berdiri dari duduknya menatap Rara dengan pandangan ingin menelan,“Kan sudah saya bilang kalau saya kasih tugas kerjain, yang belum, Berdiri MENGHORMAT BENDERA,”      
Sontak teriakan Bu Sri yang dapat membuat dua negara dalam peperangan berhenti juga burung gagak yang bertengger anteng menunggu santapan beterbangan itu membuat Rara bergegas keluar.
Sebelum keluar, saat masih ada di ambang pintu, Rara masih sempat menoleh memastikan bahwa bukan hanya dia yang belum mengerjakan tugas. Sayang, dugaannya salah, nyatanya, hanya Rara sendiri.
Hampir dua jam pelajaran Rara tersiksa di bawah terik mentari yang balas dendam karena kemarin dihalangi awan. Wajah putihnya menjadi pucat, keringat menetes di kedua pelipisnya. Rara melirik arlogi, “Sabar, dua jam pelajaran lagi,” bisiknya membatin membesarkan hati.
Tangannya mulai pegal dia gunakan menghormat. Pikirannya melayang-layang ke mana-mana.
“Andai ada pangeran yang berbaik hati mau meredakan rasa haus gue,”
“Haus yah?” pertanyaan itu terdengar seperti jawaban atas semua do’nya.
Rara mendongak lantaran orang yang melontarkan pertanyaan itu tampak lebih tinggi darinya.
“Eh, Kak Doni,” sapanya tersenyum dengan bibir pucat.
“Minum dulu,” serunya, namun Rara menggeleng.
Dengan sigap Doni menarik tangan Rara menaruh botol minuman yang dia bawa, memberikannya pada Rara.
“Diminum yah, aku ke kelas dulu, bye,”
Doni adalah kakak satu tingkat di atas Rara. Ketampanannya sudah tak diragukan lagi terlebih Doni ahli dalam memainkan alat musik juga suaranya yang merdu membuat semua wanita—termasuk Rara—meleleh jika disapa sekali saja. Hal ini membuat Rara merasa istimewa lantaran tidak semua anak perempuan bisa sedekat Rara dengan Doni.
“Apa kak Doni suka sama gue? Apa dia naksir gue? Apa dia... ah, udah, gue kan udah punya Dimas,” walau Rara sendiri tak yakin atas hubungan yang dia jalin bersama Dimas karena Dimas memintanya untuk menyembunyikan hubungan mereka dengan alasan tidak boleh pacaran kata orang tua.
Meski begitu Rara tetap belum yakin sebab Dimas memiliki begitu banyak kawan perempuan yang lebih dekat dengan Dimas dibanding Rara, pacarnya.
“Buk,” sebuah bola basket menggelinding ke arahnya. Rara memutar kepala mencoba mencari siapa orang yang sedang memainkan itu.
“Dimas,” gumamnya memandang kesal lalu berpaling melihat Dimas yang mencoba memberi kode agar Rara mengoper bola itu padanya.
“Kenapa sih?” tanya Dimas.
“Tau ah,” saut Rara acuh tak acuh.
“Yaudah,” Dimas mengambil sendiri bola itu dan berlalu kembali ke permainan.
“Ish, tuh kan, bukannya terus ditanya gitu malah pergi,” geram Rara mengepalkan tangan.
Dimas yang posisinya belum terlalu jauh juga suara Rara yang lumayan cukup terdengar di telinga Dimas membawanya kembali menghampiri Rara.
“Jangan jadi cewek aneh deh, kalau ada masalah ya ngomong. Aku kan bukan peramal yang bisa nerawang isi hati kamu,” ujar Dimas berlalu tak perduli dengan Rara yang semakin kesal.
Rara kembali ke kelas dengan tubuh lunglai, bukan saja karena habis dihukum tapi juga karena memikirkan masalahnya dengan Dimas. Masalah yang hanya dia sendiri yang tahu dan mengerti, masalah yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Gue heran, apa Dimas sebenernya gak pernah suka sama gue? Apa Dimas sebenernya gak pernah sayang sama gue? Tapi kenapa dia gak pernah lupa tanggal jadian kita? Dia juga hapal makanan kesukaan gue. Apa Dimas emang pernah suka tapi sekarang perasaannya berubah dan punya cewek baru yang lebih segalanya dari gue? Tapi, kenapa dia gak mutusin gue?” batin Rara bergelut.
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, membuat Rara melamun hingga tak sadar dan menabrak seseorang.
“Sorry sorry,” ucapnya meraih handphone orang yang ditabraknya itu.
“Sorry banget ya Ta, gue lagi ngelamun.” Jelasnya lagi.
“Iya woles aja kali Ra, makannya kalau jalan jangan ngelamun terus.”
Sekilas Rara melihat wallpaper wajah Lita yang tersenyum bersama kekasihnya.
“Ya udah, gue duluan yah Ra,” ucapnya segera berlalu.
Rara terduduk dengan berbagai pertanyaan, pernyataan, dan dugaan-dugaan tak bertanggung jawab yang memenuhi kepalanya.
“Bahkan kita gak pernah foto bareng. Apa gue kurang cantik sampai Dimas gak mau foto bareng gue? Apa dia gak mau kalau kita pisah ada hal yang bisa ngobatin rasa kangen dia ke gue?”
“Kenapa Ra?” Yani yang sedari sibuk dengan bukunya merasa heran melihat tingkah Rara yang hanya diam saja sedari kembali dari lapangan tadi.
Biasanya Rara akan terus mengoceh membahas masalah guru yang menghukumnya itu sampai dia benar-benar puas.
“Capek ya? Gue mau ke kantin. Mau nitip sesuatu gak?”
Rara menggeleng pelan.
“Bener?” tanya Yani sekali lagi memastikan.
“Nitip kepastian gak pake lama yah,”
Yani yang mendengar jawaban Rara hanya menggeleng saja. “Dasar aneh,” gumamnya berlalu.
Rara melipat tangannya di atas meja. Dia tenggelamkan wajah menangis.
“Kenapa loe bawa gue ke dalam cinta kalau akhirnya gak jelas gini?”
Dirasanya sebuah tangan membelai kepalanya pelan. Rara hapal betul bau keringat yang tercampur farfum itu milik siapa. Perlahan dia mengangkat wajah memastikan apakah orang itu sesuai dengan yang dia terka atau tidak.
“Kenapa sih?”
Rara tak menyaut, diperhatikan tempat mereka berada baik-baik. Gak ada orang, pantas aja Dimas mau masuk, pikirnya.
“Maaf,” gumam Dimas.
Rara terhenyak menatap, apa Dimas tahu alasan di balik air matanya?
“Maaf buat?” tanya Rara memastikan.
Dimas tak menjawab, dia bergegas pergi tanpa menoleh.
“Apa Dimas mutusin gue?” ucapnya.

Let's read the next : Berawal Dari Backstreet (bagian 2)