Friday, August 12, 2016

Berawal Dari Backstreet (Bagian 1)

Berawal Dari Backstreet  (Bagian 1)


 Bel masuk sudah berbunyi lebih dari lima menit yang lalu dan Rara, masih berjarak sepuluh langkah dari gerbang. Sial! Desisnya melihat gerbang yang sedikit demi sedikit tertutup dengan bunyi berderit bukan karena orang yang ada di balik gerbang itu tidak kuat mendorong melainkan rel gerbang yang sudah berkarat.
“PAK, STOP!!!” teriak Rara spontan menghentikan gerakan satpam sekolah yang meruntuk kesal pada anak-anak yang suka telat seperti Rara karena dianggapnya menghambat tugas agung menutup pintu gerbang.
Sebelumnya perkenalkan, Amira Larasati, gadis yang akrab disapa Rara. Wajahnya manis membuat orang tak bosan memandang. Tubuhnya tinggi berisi dan kecerdasan yang luar biasa namun tak bisa membawanya meraih ranking pertama di kelas.
“Tak apa mah, ranking satu bukan jaminan Rara sukses nanti kok,” ucapnya mengobati hati sang mamah yang selalu mengoceh saat mengambil laporan hasil belajar Rara. Coba Rara lebih rajinlah, lebih aktif lah, tidak kebanyakan main gamelah, kata-kata yang dianggapnya angin lalu lantaran sudah terbiasa.
Rara merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Masrul, tengah mengenyam pendidikan di Negeri Paman Sam lantaran kejeniusannya di bidang musik. Adiknya, Keyla, memilih untuk melanjutkan sekolah di pesantren selepas lulus sekolah dasar.
Terkadang Rara merasa hanya dialah yang belum memiliki sesuatu untuk dibanggakan sang bunda. Habis mau bagaimana lagi, bukan keinginan dia kok, bisiknya mengobati diri sendiri.
Secepat mungkin Rara memburu kelas. Hal yang sudah biasa dilihat beberapa anak kelas yang dilaluinya. Susah payah Rara mengatur nafas. “Syukur,” bisiknya. Guru kimia yang terkenal galak di seantero sekolah itu belum tampak walau hanya kacamatanya.
“Bruk, bugh,” Rara membanting diri di kursi tempat yang mau tidak mau harus membuat Rara betah duduk berlama-lama walau kadang pantatnya terasa pegal lantaran keadaan kursi yang tak berbusa juga pengaruh terlalu lama belajar.
“Telat lagi?” tanya Yani kawan seperjuangan sejak kelas satu yang terdengar seperti pernyataan di telinga Rara.
Meski sama-sama cerdas, Yani begitu giat dan rajin sehingga dia mampu menyandang gelar sebagai juara bertahan lantaran selalu mendapat juara pertama sejak kelas satu. Yah lebih unggul empat angka lah dari Rara.
“Semalaman berburu pokemon, dapet lima ekor,” ucapnya tersenyum puas walau masih terasa pegal di beberapa bagian tubuhnya.
Yani tak merespon. Dia konsen pada setumpuk bacaan di hadapannya. Di banding Rara Yani berperagai lebih tenang, hemat kata dan dingin. Itu membuatnya terkadang sulit beradaptasi dengan lingkungan termpatnya berada. Lain dengan Rara, yang jikalaupun ditaruh di ruangan yang tidak ada satu orangpun mengenalnya, dalam sekejap bisa menjadi sahabat karibnya.
Guru yang sempat membuat Rara was-was lantaran keterlambatannya itu masuk juga. Tanpa salam, tanpa senyum, dan tanpa ucapan maaf karena sudah terlambat.
“Gue berani bertaruh itu guru pas pembagian keramahan dia pasti absen,” bisik Rara memperhatikan dari ujung kaki sampai puncak kerudung.
Yani hanya tersenyum menggeleng, sahabatnya itu memang selalu ada-ada saja.
“Untung aja dia juga telat, kalau engga, bisa abis gue jadi ikan asin karena dijemur seharian.”
“Tugas kimia yang kemarin, kumpulkan!” perintah Bu Sri—sapaan akrab guru killer itu—membuat suasana yang tadinya hening menjadi sedikit berisik.
“Eh gue belum satu lagi,”
“Gak papa, kumpulin aja, daripada dihukum.”
“Kemarin gue ngerjain susah payah loh,”
“Makasih yah udah ngajarin,”
“Ya ampun, demi pokemon gue yang tadi malam, GUE BELUM!” teriak Rara mengundang perhatian beberapa pasang mata. Beberapa orang yang berjalan ke depan untuk mengumpulkanpun jadi terhenti sejenak.
“Krikk, krikk,” entah suara ringtone siapa. Yang pasti tak ada tawa, tak ada canda, yang ada hanyalah tatapan simpati dari semua kawannya kepada Rara.
Bu Sri berdiri dari duduknya menatap Rara dengan pandangan ingin menelan,“Kan sudah saya bilang kalau saya kasih tugas kerjain, yang belum, Berdiri MENGHORMAT BENDERA,”      
Sontak teriakan Bu Sri yang dapat membuat dua negara dalam peperangan berhenti juga burung gagak yang bertengger anteng menunggu santapan beterbangan itu membuat Rara bergegas keluar.
Sebelum keluar, saat masih ada di ambang pintu, Rara masih sempat menoleh memastikan bahwa bukan hanya dia yang belum mengerjakan tugas. Sayang, dugaannya salah, nyatanya, hanya Rara sendiri.
Hampir dua jam pelajaran Rara tersiksa di bawah terik mentari yang balas dendam karena kemarin dihalangi awan. Wajah putihnya menjadi pucat, keringat menetes di kedua pelipisnya. Rara melirik arlogi, “Sabar, dua jam pelajaran lagi,” bisiknya membatin membesarkan hati.
Tangannya mulai pegal dia gunakan menghormat. Pikirannya melayang-layang ke mana-mana.
“Andai ada pangeran yang berbaik hati mau meredakan rasa haus gue,”
“Haus yah?” pertanyaan itu terdengar seperti jawaban atas semua do’nya.
Rara mendongak lantaran orang yang melontarkan pertanyaan itu tampak lebih tinggi darinya.
“Eh, Kak Doni,” sapanya tersenyum dengan bibir pucat.
“Minum dulu,” serunya, namun Rara menggeleng.
Dengan sigap Doni menarik tangan Rara menaruh botol minuman yang dia bawa, memberikannya pada Rara.
“Diminum yah, aku ke kelas dulu, bye,”
Doni adalah kakak satu tingkat di atas Rara. Ketampanannya sudah tak diragukan lagi terlebih Doni ahli dalam memainkan alat musik juga suaranya yang merdu membuat semua wanita—termasuk Rara—meleleh jika disapa sekali saja. Hal ini membuat Rara merasa istimewa lantaran tidak semua anak perempuan bisa sedekat Rara dengan Doni.
“Apa kak Doni suka sama gue? Apa dia naksir gue? Apa dia... ah, udah, gue kan udah punya Dimas,” walau Rara sendiri tak yakin atas hubungan yang dia jalin bersama Dimas karena Dimas memintanya untuk menyembunyikan hubungan mereka dengan alasan tidak boleh pacaran kata orang tua.
Meski begitu Rara tetap belum yakin sebab Dimas memiliki begitu banyak kawan perempuan yang lebih dekat dengan Dimas dibanding Rara, pacarnya.
“Buk,” sebuah bola basket menggelinding ke arahnya. Rara memutar kepala mencoba mencari siapa orang yang sedang memainkan itu.
“Dimas,” gumamnya memandang kesal lalu berpaling melihat Dimas yang mencoba memberi kode agar Rara mengoper bola itu padanya.
“Kenapa sih?” tanya Dimas.
“Tau ah,” saut Rara acuh tak acuh.
“Yaudah,” Dimas mengambil sendiri bola itu dan berlalu kembali ke permainan.
“Ish, tuh kan, bukannya terus ditanya gitu malah pergi,” geram Rara mengepalkan tangan.
Dimas yang posisinya belum terlalu jauh juga suara Rara yang lumayan cukup terdengar di telinga Dimas membawanya kembali menghampiri Rara.
“Jangan jadi cewek aneh deh, kalau ada masalah ya ngomong. Aku kan bukan peramal yang bisa nerawang isi hati kamu,” ujar Dimas berlalu tak perduli dengan Rara yang semakin kesal.
Rara kembali ke kelas dengan tubuh lunglai, bukan saja karena habis dihukum tapi juga karena memikirkan masalahnya dengan Dimas. Masalah yang hanya dia sendiri yang tahu dan mengerti, masalah yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Gue heran, apa Dimas sebenernya gak pernah suka sama gue? Apa Dimas sebenernya gak pernah sayang sama gue? Tapi kenapa dia gak pernah lupa tanggal jadian kita? Dia juga hapal makanan kesukaan gue. Apa Dimas emang pernah suka tapi sekarang perasaannya berubah dan punya cewek baru yang lebih segalanya dari gue? Tapi, kenapa dia gak mutusin gue?” batin Rara bergelut.
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, membuat Rara melamun hingga tak sadar dan menabrak seseorang.
“Sorry sorry,” ucapnya meraih handphone orang yang ditabraknya itu.
“Sorry banget ya Ta, gue lagi ngelamun.” Jelasnya lagi.
“Iya woles aja kali Ra, makannya kalau jalan jangan ngelamun terus.”
Sekilas Rara melihat wallpaper wajah Lita yang tersenyum bersama kekasihnya.
“Ya udah, gue duluan yah Ra,” ucapnya segera berlalu.
Rara terduduk dengan berbagai pertanyaan, pernyataan, dan dugaan-dugaan tak bertanggung jawab yang memenuhi kepalanya.
“Bahkan kita gak pernah foto bareng. Apa gue kurang cantik sampai Dimas gak mau foto bareng gue? Apa dia gak mau kalau kita pisah ada hal yang bisa ngobatin rasa kangen dia ke gue?”
“Kenapa Ra?” Yani yang sedari sibuk dengan bukunya merasa heran melihat tingkah Rara yang hanya diam saja sedari kembali dari lapangan tadi.
Biasanya Rara akan terus mengoceh membahas masalah guru yang menghukumnya itu sampai dia benar-benar puas.
“Capek ya? Gue mau ke kantin. Mau nitip sesuatu gak?”
Rara menggeleng pelan.
“Bener?” tanya Yani sekali lagi memastikan.
“Nitip kepastian gak pake lama yah,”
Yani yang mendengar jawaban Rara hanya menggeleng saja. “Dasar aneh,” gumamnya berlalu.
Rara melipat tangannya di atas meja. Dia tenggelamkan wajah menangis.
“Kenapa loe bawa gue ke dalam cinta kalau akhirnya gak jelas gini?”
Dirasanya sebuah tangan membelai kepalanya pelan. Rara hapal betul bau keringat yang tercampur farfum itu milik siapa. Perlahan dia mengangkat wajah memastikan apakah orang itu sesuai dengan yang dia terka atau tidak.
“Kenapa sih?”
Rara tak menyaut, diperhatikan tempat mereka berada baik-baik. Gak ada orang, pantas aja Dimas mau masuk, pikirnya.
“Maaf,” gumam Dimas.
Rara terhenyak menatap, apa Dimas tahu alasan di balik air matanya?
“Maaf buat?” tanya Rara memastikan.
Dimas tak menjawab, dia bergegas pergi tanpa menoleh.
“Apa Dimas mutusin gue?” ucapnya.

Let's read the next : Berawal Dari Backstreet (bagian 2)

0 comments:

Post a Comment