Berawal Dari Backstreet (Bagian 2)
Sudah dua pekan semenjak hari itu Dimas tak pernah menghubunginya lagi. Sebenarnya sudah sering Rara mengirim pesan maupun menelpon kepada Dimas, namun pemuda itu tak merespon walau sekali dan bila bertemu pun Dimas selalu memberi kesan jika mereka tak dan tak pernah saling kenal.
Rara menjadi bingung atas hubungan mereka yang awalnya backstreet malah jadi makin gak jelas.
“Kalau Dimas mutusin harusnya dia bilang putus bukan cuma maaf.” Runtuknya menenggelamkan wajah ke dalam bantal.
“Dim, kalau kamu mau putus bilang, biar aku gak bimbang gini,” tulisnya di WA. Belum sempat pesan itu terkirim Dimas mengirim mendahului.
“Aku nunggu sekarang di perempatan.”
Rara mengernyit, segera pesan itu dia hapus kembali dan bersiap.
“Tapi kan udah malem,” ujarnya.
“Masa bodo,” lanjutnya mengingat di rumah hanya ada dia sendiri lantaran mamah dan papahnya harus ke bogor untuk menjenguk nenek.
Dengan menggunakan jeans yang dipadu kemeja cokelat motif kotak-kotak Rara pergi menemui Dimas. Rambutnya digerai dengan ujung dan ujung dirangkul jepit kecil pemberian Dimas.
Tak dipungkiri Dimas semakin terpesona dengan penampilan Rara yang simpel namun tetap rapi.
Baru saja datang tanpa berkata Dimas menyerahkan helm memberi kode agar Rara menaiki motornya.
“Mau ke mana?” tanya Rara saat motor yang mereka tumpangi melaju sebentar.
“Bebas,” jawab Dimas acuh.
Walau begitu Rara merasa tenang dan percaya kalau Dimas pasti akan menjaganya dengan baik.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu ngejauh?”
Dimas sedikit terusik dengan pertanyaan Rara. “Bisa gak nanyanya nanti aja?”
Walau sikapnya terkadang acuh, entah mengapa Rara tetap bisa mencintai Dimas. Diapun yakin akan merasa berat jika suatu saat Dimas harus pergi dari sisinya.
Badut, balon, juga kincir dan komedi putar membuat Rara yakin jika Dimas mengajaknya ke pasar malam.
“Ayo,” Dimas menarik tangan Rara menuntunnya ke tempat yang dipenuhi balon.
“Happy anniv five month Rara, I love you,” ucap Dimas memberi sebuah balon berwarna merah berbentuk hati bertuliskan ‘I always hope you happy’.
“Kamu inget?” tanya Rara.
Dimas terkekeh menepuk kepalanya. “Dasar, ya jelas lah.”
“Aku aja lupa,” ucap Rara tersenyum bahagia menarik Dimas menaiki kincir angin.
“Jangan ini deh Ra,”
“Kenapa?”
Rara sebenarnya tidak tahu jika Dimas memiliki trauma yang dialaminya semasa kecil. Dia pernah menaiki kincir angin dan hampir saja terjatuh lantaran kenakalannya semasa kecil. Kejadian itu harus merenggut nyawa kakaknya tercinta. Namun karena tidak ingin membuat Rara kecewa Dimas memaksakan diri untuk menaikinya.
“Kamu kenapa?” tanya Rara melihat Dimas menggigil memejamkan mata.
Keringat mengucur dari kening dan pelipisnya.
“Dim? Dim,” gadis itu panik menggenggam tangannya yang sebelah karena sebelah tangan Dimas mencengkram kepalanya yang terasa ngilu.
“Dim? Kamu kenapa Dim?”
Rara memberikan segelas kopi hangat yang ia beli. Walau sebenarnya dia tidak yakin Dimas menyukai kopi atau tidak.
“Jadi kamu kenapa tadi?” ucapnya menatap dengan harapan mendapatkan jawaban.
Dimas hanya tersenyum, “Kepo,”
“Ih, ya harus kepo lah. Kamu tahu gak, tadi itu tuh aku khawatir banget.”
“Udah, pulang yuk! Nanti ada yang liat kita di sini.”
Rara cemberut memanyunkan bibir. “Gue pikir dibawa ke sini karena dia udah mau terbuka sama hubungan kita,” ucapnya membatin.
“Nih,” Rara menyerahkan helm masih cemberut.
“Kenapa lagi sih? Gak seneng aku ajak ke pameran?”
“Kamu kenapa sih kok gak ada orang yang boleh tahu hubungan kita?”
Dimas tersenyum, “Pengen aja.”
“Waktu itu kamu bilang gak boleh sama orangtua. Sekarang pengen aja. Kamu bohong yah? Kamu takut fans kamu tahu kalau aku ini pacar kamu? Kamu malu pacaran sama aku? Bahkan kita gak pernah foto bareng di moment yang kita lalui. Kamu sebenernya serius gak sih, sama aku?” tanya Rara sedikit ragu akan dilontarkannya pertanyaan terakhir mengingat dia masih takut Dimas menjawab iya.
“Udah ngomelnya nona?”
“Ish! Nyebelin,”
“Udah masuk sana! Aku mau pulang. Yang bisa jawab pertanyaan kamu itu ya diri kamu sendiri.” Dimas menyalakan motor dan berlalu meninggalkan Rara dengan seribu tanya.
Rara berjalan sendiri menyusuri koridor sekolah yang sangat amat sepi. Maklum saja, kegiatan belajar mengajar tengah dilaksanakan. Hanya Rara yang ‘katanya’ ijin buat ke toilet tapi malah keluyuran gak jelas.
“Psst, hei!” seseorang menyerunya entah dari mana.
Rara berbalik menengok ke segala arah. Di sana, di sudut yang agak menjorok ke dalam Rara melihat Dimas. Rara menghampirinya entah hendak apa.
“Apa sih?”
“Ngapain keluyuran? Bukannya belajar sono!”
“Gak keluyuran kok.”
“Itu, ke luar kelas terus jalan-jalan emangnya kamu mau ngapain?”
“A-aku mau ke toilet,”
Dimas menatapnya tak yakin. “Toilet cewek di sebelah sana, ngapai kamu ke sini? Udah ke kelas sono!”
“Lah kamu sendiri ngapain di sini?”
“Udah, gak usah banyak tanya. Sono buruan ke kelas,” Dimas mendorong Rara untuk segera berjalan ke arah kelasnya.
“Ish, udah, aku bisa sendiri.” Decaknya kesal lalu pergi meninggalkan Dimas.
“Dasar aneh,” Rara tak berhenti menggerutu.
“Eh, kalau gue ke kelas sekarang, nanti gue gak bisa keluar lagi dong.” Dengan pandangan jahil dia melirik tangga yang akan mengantarnya ke lantai tiga, lantai di mana perpustakaan berada.
“Daripada boring sama sejarah, mending tidur di perpustakaan.” Serunya segera bergegas naik.
“Rara!”
“Eh siapa?” Rara celingukan mencari orang yang memanggilnya.
“Oh Kak Doni,”
“Mau ke perpustakaan yah?”
Rara hanya mengangguk saja.
“Bareng yuk! Aku juga mau cari buku nih,”
Rara mengangguk lagi lalu berjalan mendahului. Entah mengapa sekarang ini rasa suka Rara kepada Doni mengabur. Mungkin karena dia yakin kalau Dimas sangat mencintainya dan dia juga mencintai Dimas.
“Kakak gak belajar?” tanya Rara sekedar basa basi.
“Belajar sih, tapi males ah. Guru sama pelajarannya bikin boring.”
“Oooh,” respon Rara dengan nada panjang.
“Kamu sendiri?’
“Ya kurang lebih gitu deh,”
“Oh samaan yah,”
Perpustakaan amatlah sepi, bukan saja karena jam masih dalam waktu belajar. Karena memang jika sudah istirahat pun orang-orang akan lebih suka pergi ke kantin daripada perpustakaan.
“Loh, kok malah duduk?” tanya Doni melihat Rara menghampiri sofa panjang yang disediakan dengan tujuan agar pengunjung perpustakaan banyak. Walaupun itu tidak berpengaruh karena jikalaupun ada yang tertarik dengan sofa itu hanya sekedar duduk-duduk atau kalau mengambil bukupun formalitas saja.
“Kan emang aku gak bakal baca. Cuman boring aja di kelas.”
Doni tersenyum menggeleng, tapi berikutnya dia juga malah ikut duduk di samping Rara.
Ada debaran yang tidak biasa saat Doni mendekat di sampingnya. Rarapun menggeser posisi duduknya sedikit.
“Ra,” Doni menatap wajahnya membuat Rara merasa tidak nyaman.
“Aku,”
“Kak Doni, Rara udah punya pacar. Walau emang kita backstreet. Jadi maaf Rara gak bisa,” ucapannya terhenti melihat pandangan aneh yang diberikan Doni.
“Jadi kalau kamu udah punya pacar, kamu gak bisa batuin aku buat deketin Yani?”
Sontak wajah Rara yang putih memerah seperti kepiting rebus. Doni kemudian tertawa keras-keras.
“Ra... Ra, kita emang deket. Tapi aku anggap kamu itu adik, gak lebih.”
“Hehehe,” ada rasa lega diantara rasa malu di dalam hati Rara.
“Jadi, kamu bisa kan deketin aku sama Yani,”
Tersenyum Rara mendengar kata itu lalu menjelaskan kalau sebenarnya Yani juga memiliki perasaan yang sama dengan Doni.
“Nah tadi sih aku anggepnya kakak mau bilang cinta sama aku soalnya kakak kan jarang-jarang deket cewek, dan yang paling deket sama kakak itu ya aku.”
“Jadi gimana?” tanya Doni.
“Apanya?”
“Cara aku biar bisa jadian sama Yani.”
“Em... gimana yah, oh gini aja,”
Dengan saksama Doni mendengarkan kata per kata dari Rara.
“Ide bagus,”
“Tapi Kak Doni harus kasih Rara upah,”
“Apa?”
“Rara mau es krim, cokelat, jelly, emh puding, sama bakso malang di kantin sekolah. Dan semua itu harus dikasih abis kakak jadian sama Yani,”
“Waduh bobol nih dompet,”
“Iya gak? Kalau engga juga gak papa sih,”
“Iya deh iya. Ya udah, ke kelas sono. Udah istirahat juga.”
“Ok deh, jangan lupa yah traktirannya,”
Di kelas.
“Yani,” Rara tersenyum memeluk leher sahabatnya itu sambil mendaratkan pantat pada kursi kayu yang lagi dan lagi harus terpaksa menerima beban tubuh Rara.
“Apa sih? Bau tauk,” ucapnya menutup hidung tapi tidak menyingkirkan tangan Rara.
“Masa sih?” Rara menciumi ketiak dan seluruh sudut tubuhnya yang tergapai hidung minimalisnya.
“Eh bercanda yah loe?”
“Eh Yan, ikut yuk?”
Yani melirik Rara lalu berpaling lagi. “Ke mana?”
“Ayo aja,” Rara menarik tangan Yani yang mau tidak mau harus mengikutinya.
Lapangan, sesuai rencana sudah ada bola basket tersusun rapi membentuk tiga elemen “I Love You”.
“Bagus yah,” cetus Yani namun tak menampakkan ekspresi antusiasnya.
“Yan, bisa ke tengah bentar gak?”
“Ngapain?”
“Ambilin bolanya dong, satu aja.”
Yani menatap Rara geram. “Ogah ah, itu orang susun susah-susah.”
“Yan, ayolah,”
Yani berpikir dua kali untuk tidak mengambilkan bola itu untuk Rara. Pasalnya Rara pasti terus merengek sampai kemanapun mereka pergi. Lagipula kalaupun ada orang yang marah karena bola itu ia ambil, ia tinggal berkata maaf.
Yani memang sudah memantapkan langkah untuk maju ke tengah lapangan. Tapi, dia sedikit risi beberapa wanita menatapnya sambil berbisik-bisik bahkan beberapa pria menatapnya aneh.
“Aduh Ra, itu Yaninya suruh mundur dulu deh!”
“Kak Doni ngapain di sini? Harusnya kan kakak ada di deket-deket sana!”
“Iya, tadinya juga mau gitu tapi anak basket lagi adain acara ulang tahun mereka,”
“Lah terus itu, kenapa tulisannya I love you?”
Doni hendak menjelaskan, tapi Andika, orang yang membawa sisa bola basket juga tepung untuk kata berikutnya sudah terlanjur datang.
“Don, bantuin susun tulisan ini yuk, tinggal tulisan basketnya.”
“Lah?” Rara malah makin heran.
“Loe tunggu di sini!”
Tanpa aba-aba Doni berjalan ke tengah lapang. Yani yang sudah mengambil satu bola hendak kembali menghampiri Rara.
“Eh kak, anu ini,” penjelasannya terhenti ketika Doni menggenggam tangannya.
“I love you Yani. Will you be my girl friend?”
“Hah, apa?”
“Eh maaf, aku gak salah denger? Oh ah kakak serius?” Yani berucap gugup.
“Engga Yan, aku serius,”
“Aku juga sebenernya punya rasa yang sama,”
“Jadi?”
Tanpa kata Yani mengangguk pertanda iya.
Lagi-lagi Rara harus berkejaran dengan waktu. Baru saja beberapa hari dia tepat waktu Rara harus bangun kesiangan lagi gara-gara terlalu asik bergadang.
“Pak pak pak stop stop pak!”
“Kesiangan terus! Mau jadi apa kamu?” hardik satpam penjaga gerbang tak Rara hiraukan.
Di sela kepanikannya itu Rara masih saja sempat melirik Dimas yang berjalan berlawanan dengannya.
“Dimas mau ke mana yah?” bisiknya namun segera berlalu karena terkejar waktu.
Seperti maling Rara memasuki kelas. Dia berjalan kepiting demi menghindari lirikan Pak Gilang yang tengah menulis di papan.
“Yang telat silahkan, gak usah masuk kelas,”
Rara yang baru saja berhasil mendaratkan pantatnya di kursi sontak berdiri lagi berujar, “Maaf pak, tapi kata nenek saya gak ada kata terlambat untuk belajar.”
Pak Gilang berbalik menatapnya. “Ini bukan sekolah nenek kamu. Jadi buruan keluar!”
“Fuhh!!!” ke mana lagi tempat pelarian Rara kalau bukan ke perpustakaan.
“Oh iya, tadi Dimas ke mana yah?”
“Ah telpon aja deh,”
Hanya nada sambung.
“Mungkin Dimas udah ke kelas lagi,” pikirnya mencoba mensugesti pikiran untuk tetap berpikir positif.
Sementara di lain tempat, Dimas terpaku pada sebuah handphone yang baru saja berbunyi.
“Dim,” ibunya yang berurai air mata memegang pundak menguatkan.
“Kita harus pergi,” tekad Dimas.
“Ibu gak mau masalah ini bikin kamu susah. Kita masih bisa tinggal di sini,”
“Kita harus menjauhi semua kenangan tentang ayah bu, kita pergi!”
Hampir lima belas menit Rara tertidur dengan posisi duduk. Di sela tidurnya itu Dimas masih sempat mampir sekedar mengucapkan selamat tinggal.
“Dim!” pekik Rara terperanjat lalu diam lagi setelah sadar beberapa orang menembak pandangan kearahnya.







